PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bali
merupakan daerah tujuan wisata paling utama dan dunia mengakui Bali sebagai
pulau yang indah dan eksostis. Keindahan alam, seni budaya, serta kehidupan
sosio-religius masyarakat Bali. Potensi wisata yang menjadi adalan bagi
pengembangan ekonomi masyarakat Bali. Begitu bangganya masyarakat Bali dengan
perkembangan pariwisata, bahkan banyak yang menggantungkan hidupnya dari sektor
ini (Pitana,2005:107). Bali saat ini sangat berubah dengan adanya industri
pariwisata. Perubahan yang mendadak dari masyarakat agraris menjadi masyarakat
industri menimbulkan banyak masalah yang berdampak kepada kehidupan sosial
kemasyarakatan orang Bali. Perubahan global dalam kehidupan di dunia,
menimbulkan banyak pergeseran-pergeseran, diantaranya dalam tingkah laku dan
kehidupan manusia. Perkembangan teknologi menyebabkan dunia kelihatan makin
sempit karena transportasi dan telekomunikasi makin canggih sehingga mudah
dijangkau (Tanu, 2011:1). Perubahan kehidupan masyarakat yang tadinya bersifat
agraris kemudian berubah menjadi industri, menimbulkan dampak serta
pergeseran-pergeseran tingkah laku masyarakat yang sangat dinamis dan bahkan
drastis. Pengaruh globalisasi ini tidak hanya berdampak kepada perubahan
prilaku dan kehidupan masyarakat, namun juga merubah struktur budaya serta
kepercayaan masyarakat.
Bali yang sebagian besar
penduduknya beragama Hindu ketika masih di dalam tatanan kehidupan masyarakat
agraris berjalan dengan baik bahkan agama Hindu tersebut diperkaya dengan
budaya-budaya dari kehidupan masyarakat agraris itu. Hal ini dapat berlangsung
dengan baik karena dalam kehidupan masyarakat agraris, peluang waktu atau jedah
waktu sangat panjang, yang mana ketika musim tanam selesai serta menjelang
musim panen tiba waktu luang untuk bersantai dan berekreasi sangat banyak.
Banyak kreasi-kreasi dan budaya-budaya yang adiluhung muncul, karena dalam
masyarakat agraris kehidupan masyarakat tidak begitu banyak dikejar-kejar oleh
waktu.
Kehidupan
beragama dan berbudaya akhirnya luluh menjadi satu, karena budaya yang
dilahirkan tersebut sangat menunjang kehidupan beragama, khususnya dalam agama
Hindu. Pariwisata telah menjadi generator penggerak dalam pemangunan ekonomi
dan menjadi lokomotif dalam perubahan sosial budaya di beberapa daerah tujuan
wisata, termasuk Bali. Internasionalisasi lewat pariwisata khususnya pariwisata
budaya dengan industri budayanya membawa masyarakat lokal terjepit diantara dua
kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka diwajibkan memelihara tradisi dan adat
budayanya, yang merupakan komuditas yang dapat dijual dalam pariwisata. Di sisi
lain, internasionalisasi melalui jaringan pariwisata budaya berarti secara
sengaja membenturkan kebudayaan lokal tersebutdengan dunia modern. Ini
memberikan peluang besar bahwa budaya lokal akan hanyut dengan derasnya
gelombang budaya global. Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Vali telah
mengalami erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan tanpa
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri.
Terjadinya komodifikasi terhadap
kebudayaan, terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian, profanisasi kesenian
sakral, profanisasi kegiatan ritual taupun tempat suci, dan bahkan ada yang
mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini sudah semakin kecil kemauannya untuk
mempertahankan identitas budayanya atau ke Bali. Pariwisata selalu mendapat
cercaan, karena pariwisata dituduh akan menyebabkan terjadinya erosi budaya.
Berbarengan dengan perkembangan kepariwisataan, akan terjadi proses
komodifikasi, dimana semua aspek kebudayaan akan diperjualbelikan, sebagai
layaknya komoditas atau barang dagangan lainnya. Transformasi yang terjadi pada kesenian Bali, baik dalam
bidang seni rupa yang diubah menjadi barang souvenir kasar, maupun bidang seni
pertunjukkan yang disesuaikan dengan selera dan batasan pemahaman penonton
asing. Komodifikasi ini bukan saja terjadi pada aspek budaya yang profan,
melainkan juga pada aspek budaya yang sakral. Dengan kata lain, bersamaan
dengan proses komodifikasi terjadi pula proses profanisasi dan desakralisasi.
Berbagai aspek sakral dan berbagai situs sakral, semua diperjualbelikan dalam
paket-paket yang siap dinikmatioleh wisatawa. Dengan proses ini maka lambat
laun manusia akan tecabut dari akar budayanya, dari jaring-jaring kehidupan
sosial yang selama ini menopangnya.
1.
Pengertian
Seni Lukis Bali
Seni lukis Bali merupakan bagian terpenting dalam perkembangan sejarah
seni rupa Indonesia. Sejatinya seni lukis Bali merupakan bagian terpenting
dalam perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Namun babakan sejarahnya dibaca
berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dapat dicermati dari
berbagai tulisan serta terbitan buku-buku seni rupa, yang selalu mengulas seni
lukis Bali pada kolom yang berbeda. Seni Lukis Bali
sebagai salah satu identitas produk kebudayaan nusantara, memilliki sejarah
panjang memperkenalkan dirinya sebagai identitas nusantara. Lahir dari jaman
kerajaan, mengalami masa kejayaan, surut oleh pergolakan peperangan melawan
penjajah, hingga kemudian mengalami pengkebiran politik kesenian era
kemerdekaan. Perjalanan sejarah seni lukis Bali telah memiliki akarnya
tersendiri bersamaan dengan hadirnya masa kejayaan kerajaan di Bali. Cikal
bakal lahirnya seni lukis Bali pada jaman kerajaan dapat ditinjau dari beberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh Raja anak Wungsu pada abad 11, kemudian dikenal
adanya kelompok yang mempunyai keahlian melukis, yaitu salah satu prasasti
terdapat goresan motif wayang yang menggambarkan Dewa Siwa. Didalam
naskah-naskah kuno berupa lontar-lontar yang termuat cerita-cerita legenda atau
ceritera wayang, banyak menggunakan ilustrasi gambar yang indah dalam ukuran
kecil atau miniatur. Ilustrasi atau gambar tersebut merupakan cikal bakal seni
lukis “klasik” Bali yang tumbuh dan berkembang hampir diseluruh Bali.
Lukisan gaya Kamasan disebut juga
sebagai lukisan gaya klasik Kamasan karena lukisan gaya ini berasal dari zaman
keemasan kerajaan Bali kuno yang belum mendapat pengaruh Eropa ataupun pengaruh
luar lainnya. Temanya biasanya berasal dari dongeng tentang kehidupan para
dewa, kehidupan kalangan bangsawandan dongeng-dongeng binatang atau Tantri.
Jarang terdapat lukisan klasik tentang kehidupan masyarakat umum. Lukisan gaya
klasik Kamasan hanya memakai dua dimensi saja, panjang dan lebar, tidak ada
persfektif sehingga jauh tidak terlihat, sedangkan objek yang dilukis terlihat
seperti wayang, datar tanpa sudut pandang (persfektif) ataupun kedalam. Banyak
aspek yang berkaitan dengan keberadaan seni lukis wayang Kamasan, diantaranya
adalah aspek filosofi, spriritual, teknis, ekonomi, sosial dan budaya. Diantara
berbagai aspek tersebut, khususnya aspek spritual-kultural merupakan aspek yang
menonjol pada lukisan wayang Kamasan.
Lukisan Wayang
Kamasan bukanlah sekedar katya untuk penggalan keindahan saja, yang utama
adalah sebuah karya berfungsi sebagai benda ritual sebagai media untuk mencapai
tujuan tertentu, seperti misalnya menunjukkan kehidupan yang baik dan buru.
Pembagian bidang dalam seni lukis wayang Kamasan juga mengavu pada ajaran Hindu
tentang Tri Loka, yaitu bawah, tengah dan atas. Semakin tinggi dunia atau
ruangannya maka dianggap semakin suci. Setelah Bali dikuasai oleh belanda pada
tahun 1908, para ilmuwan dan para seniman Barat berdatangan ke Bali atas
undangan Raja Ubud, Cokorda Sukawati, yang sangat menyukai kesenian,
diantaranya para pemusik, para perancang tari, para penulis dan para pelukis.
Raja ubud ini mengundang seniman-seniman Barat yang dikenalnya untuk datang dan
menatap ndi Ubud. Beberapa di antaranya diberikan hadiah tanah untuk nmembangun
studio, rumah, misalnya Walters Spies, seniman lukis musik asal Jerman yang
datang pada tahun 1920 serta Miguel dan Rosa Covarrubias dari Mesiko, datang dan
menetap di Bali sejak 1930. Mereka menulis buku The Island Of Bali. Yang hingga
kini masih menjadi acuan semua buku tentang Pulau Bali. Rudolf Bonnet dan
Adrian Le Mayeur dari Belgia datang pada tahun 1936 dan kemudian mendirikan
organisasi para seniman Pita Maha bersama I Gusti Nyoman Lempad, I Sobrat dan I
tegalan. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk meningkatkan mutu karya para
seniman Bali dan membantu menjualkan karya-karya mereka kepada
pencinta-pencinta seni di barat. Kedatangan para seniman Barat tersebut banyak
mempengaruhi gaya lukisan yang muncul sejak tahun 1930 di Bali, yang kemudian
kita kenal sebagai gaya Tradisional bud dan gaya Tradisional Pengosekan.
Tema yang
diusung sudah menyetuh rakyat biasa ataupun peristiwa-peristiwa kehidupan
sehari-hari misalnya dari suasana di sebuah pasar desam, upacara keagamaandi
pura, pekerjaan petani diwawah, dan yang semavamnya. Warna-warna yang dipakai
adalah warna-warna modern buatan pabrik dengan berbagai macam warna. Lukisan
yang dihasilkan merupakan lukisan tiga dimensi yang sudah memperhitungkan
persfektif. Para Pelukis yang terkenal dengan Gaya Tradisional Ubud di
antaranya adalah anak agung made Sobrat dan I Dewa Nyoman Batuan. Pada tahun
1950-an seorang pelukis Belanda, Arie Smmith, mulai mengajak anak-anak petani
asal Desa Penestan untuk melukis menurut ide mereka masing-masing. Memakai
warna-warna yang mereka sukai. Hasil karya mereka kemudian dikenal sebagai gaya
lukisan young artists atau Naive, dengan ciri khas imanjinasi anak-anak yang
masih lugu, memenuhi bidang gambar tanpa banyak mementingkan kedalaman ataupun
persfektif, dengan warna-warna yang kontras dan berani. Saat ini gaya-gaya
lukisan baru, yaityu gaya modern atau kontemporer baik itu aliran realis
Surrealis, impresionis dan lainnya banyak berkembang di kalangan seniman Bali.
2.
Akulturasi
Budaya dan Pariwisata
Pengaruh
yang ditumbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan dalam hari ini seni lukis
tidak terlepas dari pola interaksi diantaranya yang cenderung bersifat dinamis
dan positif. Dinamika tersebut berkembang karena kebudayaan memegang peranan
penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata
memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika
tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan
pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan. (Geriya, 1996:49). Seni lukis Bali
seperti halnya budaya Bali juga mengalami proses touristifikasi. Bali sebelum
berkembangnya pariwisata masih memiliki gaya lukis tersendiri, khas dan sesuai
ciri kehidupan sosial masyarakaty tradisional pada waktu itu. Melukis merupakan
sebuah yadnya, suatu persembahan seni bagi masyarakat Bali. Bali tidak dikenal
lukisan komersial. Yang ada hanyalah lukisan sebagai kesenian sakral, karena
semata-mata dipergunakan sebgai hiasan di tempat-tempat pertunjukan, di istana-istana
bangsawan dan di pura-pura, baik itu sebagi umbul-umbul kober ataupun sebagi
langse dan ider-ider. Para seniman tidak menjual lukisan hasil karyanya kepada
masyarakat umum. Namun hidupnya dijamin oleh keluarga raja dan para bangsawan
yang memberiakannya pekerjaan tetap untuk menghias berbagai istana dan pura
yang mereka bangun.
Pariwisata
dengan pengaruh kolonialnya dengan selera barat membuat seniman khas Bali
dewasa ini tidak mengganggap melukis merupakan yadnya, namun lebih dari itu,
yaitu alasan ekonom, tingginya permintaan akan lukisan dengan gaya abstrak dan
gaya lainnya yang tidak mecerminkan budaya Bali telah menghilangkan identitas
bagi pelukis Bali. Dampak komodifikasi yang lebih luas lagi adalah pengaruh