Kamis, 23 Februari 2017

Seni Lukis di Bali



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bali merupakan daerah tujuan wisata paling utama dan dunia mengakui Bali sebagai pulau yang indah dan eksostis. Keindahan alam, seni budaya, serta kehidupan sosio-religius masyarakat Bali. Potensi wisata yang menjadi adalan bagi pengembangan ekonomi masyarakat Bali. Begitu bangganya masyarakat Bali dengan perkembangan pariwisata, bahkan banyak yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini (Pitana,2005:107). Bali saat ini sangat berubah dengan adanya industri pariwisata. Perubahan yang mendadak dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri menimbulkan banyak masalah yang berdampak kepada kehidupan sosial kemasyarakatan orang Bali. Perubahan global dalam kehidupan di dunia, menimbulkan banyak pergeseran-pergeseran, diantaranya dalam tingkah laku dan kehidupan manusia. Perkembangan teknologi menyebabkan dunia kelihatan makin sempit karena transportasi dan telekomunikasi makin canggih sehingga mudah dijangkau (Tanu, 2011:1). Perubahan kehidupan masyarakat yang tadinya bersifat agraris kemudian berubah menjadi industri, menimbulkan dampak serta pergeseran-pergeseran tingkah laku masyarakat yang sangat dinamis dan bahkan drastis. Pengaruh globalisasi ini tidak hanya berdampak kepada perubahan prilaku dan kehidupan masyarakat, namun juga merubah struktur budaya serta kepercayaan masyarakat.
Bali yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu ketika masih di dalam tatanan kehidupan masyarakat agraris berjalan dengan baik bahkan agama Hindu tersebut diperkaya dengan budaya-budaya dari kehidupan masyarakat agraris itu. Hal ini dapat berlangsung dengan baik karena dalam kehidupan masyarakat agraris, peluang waktu atau jedah waktu sangat panjang, yang mana ketika musim tanam selesai serta menjelang musim panen tiba waktu luang untuk bersantai dan berekreasi sangat banyak. Banyak kreasi-kreasi dan budaya-budaya yang adiluhung muncul, karena dalam masyarakat agraris kehidupan masyarakat tidak begitu banyak dikejar-kejar oleh waktu.
Kehidupan beragama dan berbudaya akhirnya luluh menjadi satu, karena budaya yang dilahirkan tersebut sangat menunjang kehidupan beragama, khususnya dalam agama Hindu. Pariwisata telah menjadi generator penggerak dalam pemangunan ekonomi dan menjadi lokomotif dalam perubahan sosial budaya di beberapa daerah tujuan wisata, termasuk Bali. Internasionalisasi lewat pariwisata khususnya pariwisata budaya dengan industri budayanya membawa masyarakat lokal terjepit diantara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka diwajibkan memelihara tradisi dan adat budayanya, yang merupakan komuditas yang dapat dijual dalam pariwisata. Di sisi lain, internasionalisasi melalui jaringan pariwisata budaya berarti secara sengaja membenturkan kebudayaan lokal tersebutdengan dunia modern. Ini memberikan peluang besar bahwa budaya lokal akan hanyut dengan derasnya gelombang budaya global. Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Vali telah mengalami erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri.
            Terjadinya komodifikasi terhadap kebudayaan, terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian, profanisasi kesenian sakral, profanisasi kegiatan ritual taupun tempat suci, dan bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini sudah semakin kecil kemauannya untuk mempertahankan identitas budayanya atau ke Bali. Pariwisata selalu mendapat cercaan, karena pariwisata dituduh akan menyebabkan terjadinya erosi budaya. Berbarengan dengan perkembangan kepariwisataan, akan terjadi proses komodifikasi, dimana semua aspek kebudayaan akan diperjualbelikan, sebagai layaknya komoditas atau barang dagangan lainnya. Transformasi  yang terjadi pada kesenian Bali, baik dalam bidang seni rupa yang diubah menjadi barang souvenir kasar, maupun bidang seni pertunjukkan yang disesuaikan dengan selera dan batasan pemahaman penonton asing. Komodifikasi ini bukan saja terjadi pada aspek budaya yang profan, melainkan juga pada aspek budaya yang sakral. Dengan kata lain, bersamaan dengan proses komodifikasi terjadi pula proses profanisasi dan desakralisasi. Berbagai aspek sakral dan berbagai situs sakral, semua diperjualbelikan dalam paket-paket yang siap dinikmatioleh wisatawa. Dengan proses ini maka lambat laun manusia akan tecabut dari akar budayanya, dari jaring-jaring kehidupan sosial yang selama ini menopangnya.



















1.                  Pengertian Seni Lukis Bali
Seni lukis Bali merupakan bagian terpenting dalam perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Sejatinya seni lukis Bali merupakan bagian terpenting dalam perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Namun babakan sejarahnya dibaca berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dapat dicermati dari berbagai tulisan serta terbitan buku-buku seni rupa, yang selalu mengulas seni lukis Bali pada kolom yang berbeda. Seni Lukis Bali sebagai salah satu identitas produk kebudayaan nusantara, memilliki sejarah panjang memperkenalkan dirinya sebagai identitas nusantara. Lahir dari jaman kerajaan, mengalami masa kejayaan, surut oleh pergolakan peperangan melawan penjajah, hingga kemudian mengalami pengkebiran politik kesenian era kemerdekaan. Perjalanan sejarah seni lukis Bali telah memiliki akarnya tersendiri bersamaan dengan hadirnya masa kejayaan kerajaan di Bali. Cikal bakal lahirnya seni lukis Bali pada jaman kerajaan dapat ditinjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja anak Wungsu pada abad 11, kemudian dikenal adanya kelompok yang mempunyai keahlian melukis, yaitu salah satu prasasti terdapat goresan motif wayang yang menggambarkan Dewa Siwa. Didalam naskah-naskah kuno berupa lontar-lontar yang termuat cerita-cerita legenda atau ceritera wayang, banyak menggunakan ilustrasi gambar yang indah dalam ukuran kecil atau miniatur. Ilustrasi atau gambar tersebut merupakan cikal bakal seni lukis “klasik” Bali yang tumbuh dan berkembang hampir diseluruh Bali.
            Lukisan gaya Kamasan disebut juga sebagai lukisan gaya klasik Kamasan karena lukisan gaya ini berasal dari zaman keemasan kerajaan Bali kuno yang belum mendapat pengaruh Eropa ataupun pengaruh luar lainnya. Temanya biasanya berasal dari dongeng tentang kehidupan para dewa, kehidupan kalangan bangsawandan dongeng-dongeng binatang atau Tantri. Jarang terdapat lukisan klasik tentang kehidupan masyarakat umum. Lukisan gaya klasik Kamasan hanya memakai dua dimensi saja, panjang dan lebar, tidak ada persfektif sehingga jauh tidak terlihat, sedangkan objek yang dilukis terlihat seperti wayang, datar tanpa sudut pandang (persfektif) ataupun kedalam. Banyak aspek yang berkaitan dengan keberadaan seni lukis wayang Kamasan, diantaranya adalah aspek filosofi, spriritual, teknis, ekonomi, sosial dan budaya. Diantara berbagai aspek tersebut, khususnya aspek spritual-kultural merupakan aspek yang menonjol pada lukisan wayang Kamasan.
Lukisan Wayang Kamasan bukanlah sekedar katya untuk penggalan keindahan saja, yang utama adalah sebuah karya berfungsi sebagai benda ritual sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu, seperti misalnya menunjukkan kehidupan yang baik dan buru. Pembagian bidang dalam seni lukis wayang Kamasan juga mengavu pada ajaran Hindu tentang Tri Loka, yaitu bawah, tengah dan atas. Semakin tinggi dunia atau ruangannya maka dianggap semakin suci. Setelah Bali dikuasai oleh belanda pada tahun 1908, para ilmuwan dan para seniman Barat berdatangan ke Bali atas undangan Raja Ubud, Cokorda Sukawati, yang sangat menyukai kesenian, diantaranya para pemusik, para perancang tari, para penulis dan para pelukis. Raja ubud ini mengundang seniman-seniman Barat yang dikenalnya untuk datang dan menatap ndi Ubud. Beberapa di antaranya diberikan hadiah tanah untuk nmembangun studio, rumah, misalnya Walters Spies, seniman lukis musik asal Jerman yang datang pada tahun 1920 serta Miguel dan Rosa Covarrubias dari Mesiko, datang dan menetap di Bali sejak 1930. Mereka menulis buku The Island Of Bali. Yang hingga kini masih menjadi acuan semua buku tentang Pulau Bali. Rudolf Bonnet dan Adrian Le Mayeur dari Belgia datang pada tahun 1936 dan kemudian mendirikan organisasi para seniman Pita Maha bersama I Gusti Nyoman Lempad, I Sobrat dan I tegalan. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk meningkatkan mutu karya para seniman Bali dan membantu menjualkan karya-karya mereka kepada pencinta-pencinta seni di barat. Kedatangan para seniman Barat tersebut banyak mempengaruhi gaya lukisan yang muncul sejak tahun 1930 di Bali, yang kemudian kita kenal sebagai gaya Tradisional bud dan gaya Tradisional Pengosekan.
Tema yang diusung sudah menyetuh rakyat biasa ataupun peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari misalnya dari suasana di sebuah pasar desam, upacara keagamaandi pura, pekerjaan petani diwawah, dan yang semavamnya. Warna-warna yang dipakai adalah warna-warna modern buatan pabrik dengan berbagai macam warna. Lukisan yang dihasilkan merupakan lukisan tiga dimensi yang sudah memperhitungkan persfektif. Para Pelukis yang terkenal dengan Gaya Tradisional Ubud di antaranya adalah anak agung made Sobrat dan I Dewa Nyoman Batuan. Pada tahun 1950-an seorang pelukis Belanda, Arie Smmith, mulai mengajak anak-anak petani asal Desa Penestan untuk melukis menurut ide mereka masing-masing. Memakai warna-warna yang mereka sukai. Hasil karya mereka kemudian dikenal sebagai gaya lukisan young artists atau Naive, dengan ciri khas imanjinasi anak-anak yang masih lugu, memenuhi bidang gambar tanpa banyak mementingkan kedalaman ataupun persfektif, dengan warna-warna yang kontras dan berani. Saat ini gaya-gaya lukisan baru, yaityu gaya modern atau kontemporer baik itu aliran realis Surrealis, impresionis dan lainnya banyak berkembang di kalangan seniman Bali.

2.                  Akulturasi Budaya dan Pariwisata
Pengaruh yang ditumbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan dalam hari ini seni lukis tidak terlepas dari pola interaksi diantaranya yang cenderung bersifat dinamis dan positif. Dinamika tersebut berkembang karena kebudayaan memegang peranan penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan. (Geriya, 1996:49). Seni lukis Bali seperti halnya budaya Bali juga mengalami proses touristifikasi. Bali sebelum berkembangnya pariwisata masih memiliki gaya lukis tersendiri, khas dan sesuai ciri kehidupan sosial masyarakaty tradisional pada waktu itu. Melukis merupakan sebuah yadnya, suatu persembahan seni bagi masyarakat Bali. Bali tidak dikenal lukisan komersial. Yang ada hanyalah lukisan sebagai kesenian sakral, karena semata-mata dipergunakan sebgai hiasan di tempat-tempat pertunjukan, di istana-istana bangsawan dan di pura-pura, baik itu sebagi umbul-umbul kober ataupun sebagi langse dan ider-ider. Para seniman tidak menjual lukisan hasil karyanya kepada masyarakat umum. Namun hidupnya dijamin oleh keluarga raja dan para bangsawan yang memberiakannya pekerjaan tetap untuk menghias berbagai istana dan pura yang mereka bangun.
Pariwisata dengan pengaruh kolonialnya dengan selera barat membuat seniman khas Bali dewasa ini tidak mengganggap melukis merupakan yadnya, namun lebih dari itu, yaitu alasan ekonom, tingginya permintaan akan lukisan dengan gaya abstrak dan gaya lainnya yang tidak mecerminkan budaya Bali telah menghilangkan identitas bagi pelukis Bali. Dampak komodifikasi yang lebih luas lagi adalah pengaruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar